Senin, 30 Maret 2009

Sang Perkutut

Mungkin akibat rasa takut yang berlebih, atau kejenuhan yang hadir hingga kreativitas sedikit terpasung, atau juga coba untuk menjajaki dan menumpahkan ide-ide liar yang terus meronta dalam benak Ana.
Entahlah….Ana hanya coba menulis sebuah Cerpen, tapi juga belum layak untuk disebut sebuah Cerpen, karena cerita ini tidak pendek tetapi terlalu pendek, kita sebut saja Cespen, siapa tahu nanti jadi Cespleng.
Coba-coba ini terinspirasi oleh Kumpulan Cerpen Danarto “BERHALA” yang Ana baca ketika masih usia belasan.
Mohon maaf kalau cerita ini ada kemiripan karakter, nama, tempat ataupun perjalanan ceritanya, jangan terlalu diambil hati. Namanya juga cerita, bisa benar..bisa juga tidak, yang pasti cerita ini tidak benar.
Kita mulai saja yah ceritanya….Bismillahir rahmanir rahim.


Ada sebuah Dusun, seperti Dusun pada umumnya, tidak ada yang aneh didusun ini, masyarakat hidup dan beraktivitas sebagai Petani dan Pedagang. Mungkin satu-satunya keanehan hanya pada seorang warga yang menjadi begitu terkenal dengan sangat mendadak, tanpa disadari dan juga belum sadar-sadar kalau Si Jabrik berhasil memenangkan Kontes Suara Burung Perkutut, dan berhak atas hadiah 25 Juta, yang bagi si Jabrik tidak mungkin bisa memiliki uang sebanyak itu walau didalam mimpi.
Kehidupan Jabrik berubah 360 derajat, Jabrik yang tadinya aktivis surau, tiba-tiba berubah tidak pernah lagi ke surau, bahkan menoleh suraupun enggan, padahal jarak surau dari rumahnya hanya berjarak sekitar 100 meter.

Waktunya banyak dihabiskan untuk mengurus burung perkututnya yang diberi nama “Tumang”, dari memberi makan, memandikan sampai tidurpun bersama si Tumang, dan hamper setiap sore hari si Jabrik keliling kampung membawa Tumang, karena memang si Jabrik tidak mempunyai anjing dan sebagai gantinya si Tumang inilah yang dibawa keliling kampung, begitu sayangnya sama si Tumang sampai-sampai isterinya Si Iyem jadi cemburu melek, kalau cemburu buta takut disamakan dengan Stevie Wonder katanya, omongan sang isteri untuk berjamaah di Masjid tidak pernah digubrisnya.

“ Pak! Sudah adzan dzuhur, bapak tidak ke surau untuk jamaah” tanya Sang Isteri.
“ Nanti Bu! Saya lagi memberi makan Tumang “ jawab Jabrik .
“ Bapak ini bagaimana toh? Kemarin Pak Sarkim Tanya bapak terus, kenapa sekarang kok tidak pernah ke Surau “ kata Iyem.
“ Waduh!...Ibu ini bagaimana juga sih! Biar saja Pak Sarkim dan bilang jangan suka ikut campur urusan orang lain “ kata Jabrik.
“ Si Tumang ini sudah kasih saya uang 25 juta, jadi saya harus balas budi” Jabrik berkata lagi kepada Iyem isterinya.

Kejadian seperti ini yang terjadi hampir disetiap waktu, ada saja alasan Jabrik untuk tidak pergi ke Surau, dengan alasan sedang memandikan Tumang, sedang memberi makan Tumang dan sebagainya. Teman baiknya atau tetangganyapun sudah tidak ada lagi yang bisa mengajak si Jabrik untuk berjamaah di Surau, Pak Beno, Pak Salim, Pak RT, semuanya tidak berhasil mengajak si Jabrik. Jabrik tenggelam dalam dunianya yang baru dan bergaul dengan burung peliharaannya.

Waktu Ashar tiba Pak Salim bergegas menuju surau untuk melaksanakan shalat ashar, ketika melewati rumah si Jabrik, dilihatnya Jabrik sedang asyik duduk dibawah pohon mangga sedang memandikan si Tumang, Pak Salim menyapa dan mengajaknya untuk sama-sama pergi ke surau.

“ Assallamu alaikum warrahmatullah, Pak Jabrik “ Pak Salim menyapa.
“ Waalaikum salam Pak Salim “ jawab Jabrik.
“ Sedang apa Pak Jabrik? Yuk..kita sama-sama ke Surau “ ajak Pak Salim
“ Pak Salim berangkat saja dahulu, saya masih banyak urusan nih!” kata Jabrik sekenanya.

Tak ada perubahan, semua berjalan seperti biasa kehidupan di Dusun tersebut, anak-anak berlari-lari menuju sekolahnya, Ibu-ibu menenteng belanjaannya sehabis belanja dari Pasar, Bapak-bapak bergegas menuju tempat kerjanya, daun-daun tetap berguguran dan tumbuh kembali, bumi berputar tetap pada porosnya, mataharipun belum bosan mengeluarkan sinarnya.
Hingga timbul kegaduhan pada suatu pagi, Jabrik menemukan pintu kandang si Tumang terbuka lebar, dan sosok Tumang sudah tidak ada lagi ditempatnya, panic si jabrik mencari kesana kemari, seperti orang lupa ingatan berteriak memanggil sang burung, padahal Jabrik tahu kalau sang burung tidak bisa mendengar panggilannya.
Selintas berkelebat diatas kepalanya yang basah oleh keringatnya, Jabrik melihat Tumang terbang rendah dan hinggap diatas ranting pohon mangga depan rumahnya, Jabrik berusaha menangkapnya walau sadar dia tidak punya kuasa untuk terbang, melihat gelagat yang tidak baik dari mantan tuannya, si Tumang terbang dan masuk kedalam surau, hinggap dan berdiri di langit-langit surau yang mulai berlubang karena usia. Seperti meledek si Jabrik, tumang berkicau nyaring dan mengeluarkan suaranya yang sempat ditawar 50 Juta oleh Juragan Belut tetapi “Not for Sale” kata Jabrik. Jabrik terdiam terkesima, entah karena suara kicau tumang atau rasa sesal yang beralasan karena 50 Juta itu kini bukan berada didalam kantungnya, tetapi ada diatas ubun-ubunnya.
Sepertinya Jabrik terkesima karena bercampurnya bermacam-macam rasa yang membaur dalam pikiran dan hatinya, yang menjalar kedalam nadinya, hingga akhirnya si Jabrik bersimpuh diatas permadani surau yang kian menipis, adrenalinnya kian terpacu bukan karena tantangan, terpacu karena rasa yang tidak jelas, yang membuat kepalanya pusing membentuk spiral, Jabrik memutuskan untuk pulang dan meninggalkan Tumang yang masih tegak berdiri.

Esok sore menjelang ashar, Jabrik sayup-sayup mendengar kicauan si Tumang, Jabrik mencari-cari sumber suara, ditemukan si Tumang sedang berkicau di ranting pohon belimbing sebelah surau, ketika Jabrik dating menghampiri untuk menikmati kicau tumang, tumang berhenti berkicau dan terbang masuk kedalam surau dan berdiri ditempatnya berdiri kemarin. Si Jabrik mengejar kedalam surau dan kembali duduk diata permadani surau yang sudah mulai lusuh tersebut, duduk seperti orang tafakur, diam dan diam dalam kicauan si Tumang. Hingga kesadarannya terjaga ketika adzan ashar berkumandang, Jabrik bangkit dan pergi begitu saja tanpa ambil bagian dalam jamaah shalat ashar.
Ketika usai shalat ashar dilaksanakan dan jamaah surau kembali untuk melanjutkan pekerjaan yang tadi ditinggalkan, Jabrik mendengar kembali kicau tumang dari kejauhan dan coba menghampiri tumang, dan kejadian tadi berulang, si tumang terbang dan masuk kedalam surau.
Tidak seperti kemarin, hari ini si Jabrik bersiap-siap dengan baju koko dan kain sarung,
“ Aku harus pake baju koko dan kain sarung nih, kalau tumang terbang masuk surau, tidak bikin malu, karena sudah siap” gumam Jabrik dalam hati. takut kalau-kalau kejadian kemarin akan terulang dan tumang terbang masuk kedalam surau, sedang Jabrik tidak siap dengan perlengkapan shalat.

Si Jabrik berlari masuk kedalam surau untuk mengejar si tumang, tumang dan Jabrik berdiri dan duduk pada tempat yang sama persis dengan tempat yang ditempatinya kemarin. Tumang mulai berkicau dan Jabrik tenggelam dalam kicauan tumang.
Entah, rasa hening justru menghinggapi hati dan pikiran tumang, dadanya bergemuruh tak menentu, nafasnya tersengal satu dua, ruhnya seperti terbang menembus ruang dan waktu, bobot badannya seperti tak bermasa, pikirannya jauh menyeruak menembus cakrawala dan terus menyeruak hingga terhenti pada satu titik gelap, Jabrik terjaga dalam keheningannya saat adzan berkumandang. Pikirannya tak menentu memikirkan adegan yang baru saja dialami oleh jiwannya. Hatinya lirih berkata :
“ Alangkah banyaknya kuhabiskan waktuku pagi dan petang untuk perbuatan tak berarti, sedang pada saat itu kain kafanku sedang ditenun tanpa kusadari “

Jabrik bangkit untuk berwudhu dan melaksanakan shalat ashar berjamaah, selesai shalat Jabrik mengkumandangkan doa kepada Khaliknya :
“ Maha suci engkau ya Allah, yang telah membukakan hatiku dari kelalaian selama ini, yang membawaku kembali pada apa yang seharusnya aku lakukan untuk beribadah kepadaMu”
Disebelahnya terdengar jamaah membaca Al Qur’an, surat Al Anaam ayat 88’ artinya :

“Itulah petunjuk Allah, yang dengannya Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya. Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan.”

Tak sadar tetes air mata membasahi pipi si Jabrik, air mata kebahagiaan, Allah masih sayang terhadapnya dan masih memberi kesempatan untuk kembali pada jalan yang seharusnya.

Jabrik semakin rajin ke surau, tak ada waktu luang tanpa dilaluinya dengan ke surau, selain untuk melaksanakan shalat berjamaah, juga untuk mendengar suara kicau si tumang. Seperti itulah perjalanan waktu yang terus berjalan, bertepatan dengan hari ke sembilan puluh, ketika Jabrik sedang terkesima menikmati kicau si tumang, tiba-tiba terasa ada yang menghinggapi bahunya yang tidak bidang, diliriknya ada apa gerangan? Ternyata si tumang sedang berdiri. Jabrik diam terkesima terasa sekujur tubuhnya kaku tak bergeming, dan si Tumang kembali berkicau, kali ini kicaunya terkesan lirih seperti menguras semua kesedihan yang terpendam dalam hatinya, Jabrik melirik dan dilihatnya si Tumang menitikan air mata.
“ Ah….ini bukan air mata buaya, dan mana mungkin juga seekor burung bisa menangis” gumam Jabrik dalam hatinya, dan tak terasa si Jabrik juga menitikan air mata, ada rasa aneh yang mengendap dalam dadanya, seperti ucapan perpisahan yang berat untuk diucapkan atau seperti rasa rindu yang meronta menuntut pelepasan. Detik demi detik berlalu dalam keheningan, setelah rasa itu telah terkuras, si Tumang terbang keluar surau, Jabrik bangkit mengikuti arah terbang si Tumang yang hinggap dipohon belimbing sebelah surau, Tumang kembali berkicau sebentar kemudian dikepakan sayapnya dan terbang tinggi…jauh tinggi…Entah kemana?

Dan kejadian tesebut merupakan hari terakhir si jabrik melihat dan mendengar kicauan si Tumang, tak didengarnya lagi kicauan Tumang, si Tumang telah pergi dan tak pernah kembali. Dan anehnya tak ada kesedihan dalam hati Jabrik, yang ada hanya rasa lapang. Yang begitu lapang dalam dadanya dan semakin lapang ketika dihirupnya wangi bunga mangga yang sedang berbunga di halaman rumahnya, Jabrik berucap dengan segenap perasaannya: “ Maha suci Engkau ya Allah, yang membalikan kembali hatiku pada jalan yang seharusnya aku jalani sebagai mahlukMu “
Sayup terdengar gema adzan dari surau dekat rumahnya, Jabrik bergegas pergi kesurau untuk melaksanakan kewajibannya sebagai Muslim.

Si Jabrik duduk bersila, khusyu bertafakur, merenung menyelami kedalaman hatinya yang sangat dalam, jauh…jauh semakin dalam, untuk mencari mutiara ma’rifat yang masih jauh tersembunyi di kedalaman hatinya yang lebih dalam dari palung yang terdalam.

Sekian…….

Afwan, kalau masih gak jelas adegan per adegan, namanya juga cerita, so…terserah sang pembuat cerita, mau seperti apa endingnya, maunya sih bikin cerita dengan gaya bahasa yang sedikit nyeleneh, tapi malu juga sama umur, sukur-sukur bisa ngikutin sastrawan-sastrawan kondang seperti Putu Wijaya, Iwan Simatupang, Jalaludin Rumi, Iqbal atau mungkin Khalil Gibran.
Memang susah jadi penulis dan akan jadi semakin susah kalau tidak ada yang bisa ditulis.

Tidak ada komentar:

SearchSight.com

"Changing the Way that the World Looks at the Internet!"