Seks bukanlah suatu yang tabu untuk dibicarakan, tetapi akan menjadi sangat tabu ketika perkara tentang seks sudah jauh menyimpang dari norma-norma yang berlaku, seks yang tidak lagi diperlakukan sebagaimana mestinya, yang tidak lagi disalurkan pada tempat yang seharusnya, seks adalah bagian dari naluri dasar manusia, seperti naluri manusia yang terus mencari tuhannya.
Seks ibarat kuda binal yang harus mampu kita kendalikan, dan harus berjalan sesuai syariat-syariat yang berlaku, seperti ibadah kepada Allah SWT, harus berpedoman pada apa yang telah Rasulullah contoh dan ajarkan.
Seks dan ibadah ibarat dua sisi mata uang, kegiatan seks merupakan salah satu bagian dari ibadah, seks adalah ibadah, dan ibadah yang menyenangkan adalah seks. Tidak seperti kematian yang hanya sekali kita alami, seks bisa berkali-kali kita alami, begitu juga ibadah yang harus rutin kita laksanakan. Lalu apa sih kematian itu?
Apabila kau dengan sesungguh hati ingin menangkap haqiqat kematian/Bukalah hatimu selebar-lebarnya bagi ujud kehidupan/Sebab kehidupan dan kematian adalah satu/sebagaiman sungai dan lautan adalah satu (Khalil Gibran).
Ana kurang respek kepada mereka yang menyombongkan diri sebagai orang yang berani mati, padahal kematian suatu hal yang biasa-biasa saja, dan akan menjadi sangat luar biasa adalah ketika bisa mati secara baik-baik dan tersenyum tentunya. Ana lebih respek kepada mereka yang berani hidup, yang terus berjuang untuk tetap hidup, mungkin seperti Lance Amstrong yang berjuang melawan kanker prostat yang dideritanya untuk tetap hidup, dan bisa mati tersenyum karena sudah menorehkan namanya dengan menjadi juara balap sepeda bergengsi Tour de france sebanyak 7 kali berturut-turut, dan kisah-kisah lainnya yang tetap terus berjuang untuk tetap hidup, ada sedikit kutipan dari Frederich Wilhem Nietszhe tentang hidup ’Semboyanku Amorvati’, yang meninspirasi Hitler mendirikan Nazi, sebagai berikut :
Tidak saja tabah menanggung penderitaan
Dan segala keharusan
Tetapi juga mencintainya
Bangun kota-kotamu dikaki vesuvius
Hiduplah berbahaya
Hiduplah dalam keadaan perang
Sambil menanti ajal.
"Tragedi hidup yang terbesar bukanlah binasanya manusia, melainkan hilangnya rasa cinta dalam diri (WS Maugham).
Allah memang maha kuasa dan besar. Tetapi karena terlalu mudah dan seringnya konsep tentang Tuhan yang maha besar dan kuasa itu kita teriakan, akhirnya konsep itu tinggal jadi ritual yang kehilangan esensinya. Ibadah memang tetap jadi misteri, karena misterilah kita tidak pernah tahu, seberapa jauh dan besar peribadatan kita kepada Allah SWT telah diterima, yang pada akhirnya membuat kita menjadi lebih bersemangat untuk terus beribadah, dan seperti seks yang tetap jadi misteri, karena kita tidak tahu pasti apakah yang telah kita tanam bisa menyatu dan membentuk menjadi embrio yang akan menjelma menjadi manusia baru.
Begitupun halnya dengan kematian, itu adalah misteri dan biarlah tetap jadi misteri. Karena hanya dengan begitu, kita akan jadi lebih suka merendahkan hati dan selalu ingat Illahi, selalu berusaha untuk mati dalam keadaan Khusnul Khotimah.
Si Fulan yang cerdik-kreatif adalah lambang otak kanan dan tetanggaku yang hafal isi satu kitab suci Al Qur’an adalah lambang dari kuatnya otak kiri. Jadi kesimpulan Ana; Malaikat itu rumahnya di otak kiri dan Iblis itu rumahnya di otak kanan. Sementara Allah ada di Hati. Maka ketika ana beribadah, shalat, sujud, puasa, zakat, infaq, sodaqoh, haji berdo'a atau apa saja namanya. Ana coba istirahatkan kerja kedua sisi otak itu. Walau itu tidak mudah, tapi begitu bisa kita lakukan, hukum timbal-balikpun akan kita saksikan. Allah tidak ada lagi dalam diri kita, tapi kitalah yang ada di dalam diriNya. Dan saat itu, dengan penuh kesadaran karena menyaksikan sendiri, kita akan mengaku, bahwa Allah itu memang maha Besar dan maha Kuasa. Dan dialah sang pembimbing kita, bukan lagi otak kanan (Iblis) atau otak kiri (malaikat) yang membimbing kita lagi.
Dengan laku spiritual yang demikian, kematianpun akhirnya akan bisa kita hadapi dengan senyuman, seperti melihat istri yang pagi-pagi sudah mandi keramas. Yah, ibadah memang seperti seks, untuk dilakukan dan dinikmati, bukan hanya untuk diwacanakan apalagi hanya menjadi pengantar lelap si buyung dan si upik.
Jadi nikmati ibadah, mungkin juga nikmati kematian yang akan menjemput, seperti ketika kita menikmati seks itu sendiri.
Kamis, 12 Agustus 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar