Jumat, 02 Oktober 2009

MEMPERJUANGKAN KABINET IDEAL*

Oleh : Gibran Huzaifah Amsi El Farizy

Penyusunan formasi kabinet pemerintahan lima tahun mendatang menampilkan fenomena yang kontradiktif. Di satu sisi, bayangan kebutuhan akan komposisi kabinet yang vital menjadi harga wajib yang dituntut oleh masyarakat. Namun, di sisi lain, partai koalisi yang meminta tanda jasa berupa posisi dalam struktur pemerintahan menjadi hal lain yang sulit untuk dihindari. Presiden terpilih dihadapkan dengan pilihan yang saling berlawanan: antara formasi optimal atau utang politik yang perlu dibayar.

Yang dibutuhkan saat ini adalah kabinet diisi oleh menteri-menteri yang memiliki kapabilitas tinggi (high-capable) di bidangnya. Bukan hanya itu, pada dasarnya kebutuhan akan komposisi eksekutif yang terbaik merupakan idealitas dalam politik.

Melihat nama-nama yang diajukan oleh partai koalisi, kening masyarakat berkerut-kerut. Tokoh-tokoh tersebut, menurut pandangan berbagai pihak, tidak memiliki kompetensi yang setara dengan jabatan yang akan ditempati. Oleh karena itu, presiden terpilih sebagai pemilik otoritas prerogatif dalam penentuan formasi kabinet harus bisa menetapkan pilihan dengan bijak dan proporsional.

Hal pertama bisa dilakukan adalah penetapan standar kualifikasi pos menteri yang transparan. Presiden harus mampu membuat standar ajeg yang dapat merepresentasikan figur menteri yang ideal. Lalu, standar tersebut perlu dipublikasikan ke umum supaya masyarakat sebagai unsur tertinggi dalam demokrasi dapat mempertimbangkan tokoh yang mungkin akan diajukan oleh partai. Tujuannya, 1) Masyarakat bisa melakukan komparasi terhadap tokoh yang masuk ke dalam bursa pemilihan menteri di tiap posnya, 2) Sebagai upaya konstruksi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan ke depan sejak dini karena dengan adanya hal ini, masyarakat dapat terlibat secara intensif dalam mendeteksi baik-buruknya calon pengisi struktur kabinet.

Dari kedua tujuan ini, tersimpul satu substansi, bahwa menteri-menteri yang kelak terpilih adalah tokoh yang memiliki kapabilitas yang tinggi karena melewati standar kualifikasi yang ditetapkan oleh presiden dan dipantau langsung oleh masyarakat umum. Jika hal tersebut dapat dilakukan, suasana yang kondusif dan harmonis antara pemerintahan dan masyarakat bukan lagi hal yang mustahil terjadi.

Sementara itu, untuk menyiasati kontrak politik koalisi, presiden dapat mengajukan persyaratan yang telah dibuat di atas kepada partai-partai yang terlibat. Standar kualifikasi tersebut menjadi titik batas kualitas yang harus dilewati oleh nama-nama yang dicalonkan oleh partai-partai koalisi. Pembagian jatah jabatan hanya berlaku jika nama yang diajukan berhasil lolos kualifikasi yang dipantau oleh masyarakat. Mekanisme ini dapat mereduksi konflik kepentingan, karena rakyatlah yang akan menjadi penjaga (guardian) standar formasi kabinet agar bisa seideal mungkin.

Formasi kabinet yang vital, biar bagaimanapun, harus selalu diperjuangkan, karena ini menjadi kekuatan utama pencapaian visi dan misi bersama. Tindakan-tindakan yang hanya terkait dengan kepentingan kelompok bukan hal yang patut ditoleransi. Oleh karena itu, perangkat-perangkat politik, termasuk di dalamnya partai, harus bisa mengedepankan kepentingan rakyat di hadapan kepentingan komunal. Pada saat itu, mimpi Indonesia yang lebih baik bukan lagi hanya utopia belaka.

*Tulisan ini diterbitkan di Harian Seputar Indonesia Tanggal 8 September 2009

Lihat juga di http://gibranhuzaifah.wordpress.com/

Tidak ada komentar:

SearchSight.com

"Changing the Way that the World Looks at the Internet!"