Selasa, 17 Februari 2009

Verba Valent, Scripta Manen ( by Gibran Huzaifah Amsi )

VERBA VALENT, SCRIPTA MANEN

Lisan adalah sementara, namun tulisan adalah selamanya. Sepertinya itu arti dari quote Bahasa Yunani di atas. Hm, sepertinya itu memang bahasa Yunani, atau bahasa Latin? Tidak tau lah. Tapi, sepertinya demikian. Benarkah? Ya, benar. Mmm, tapi mungkin saja tidak. Tapi mungkin benar. Atau mungkin tidak. Yang pasti, paragraf pertama ini tidak jelas orientasinya.
Kita tinggalkan paragraf tanpa orientasi itu.

Kata mutiara di atas sedikit banyak membuat saya berfikir tentang kebenaran idenya: bahwa perkataan adalah sesuatu yang sementara sedangkan tulisan bersifat permanen dan selamanya. Di Gramedia kita bisa dengan mudah menemukan (kumpulan) buku tentang pemikiran Aristoteles yang ia tulis lebih dari dua millennium yang lalu: La Politica. Sebuah pemikiran tentang idealitas polis yang hingga sekarang masih sibuk dikaji dan diterapkan oleh manusia dalam kehidupannya. Buku-buku seperti Politea/Republic gubahan Plato yang berisi dialog pemikiran dengan gurunya Socrates, atau bahkan, yang lebih tua, seperti The Analects karya Konfusius, walaupun sudah sangat jarang, dan walaupun saya belum pernah membacanya masih bisa kita temukan di zaman sekarang. Buku-buku itu juga bisa dengan segera dimiliki melalui transaksi dunia maya. Ini, menurut saya, adalah hal yang sangat menakjubkan: bagaimana sebuah ide bisa bertahan selama ribuan tahun sementara kondisi zaman selalu berubah-ubah. Kita tidak perlu memperdebatkan orisinalitasnya yang memang mungkin saja telah diubah oleh pihak-pihak tertentu. Namun, setidaknya, dengan membaca buku-buku tersebut, kita bisa merasakan pemikiran klasik yang tua dan amat berharga, serta bertele-tele. Dan ide ini bisa bertahan karena memang diabadikan dalam bentuk tulisan.

Jasad Aristoteles, Plato, atau Konfusius sekarang memang sudah tidak jelas lagi seperti apa. Bahkan mungkin cucunya cucu cacing yang memakan jasad mereka telah dimakan oleh kakeknya kakek cacing yang hidup di masa sekarang (weleh-weleh). Tapi pemikiran mereka toh masih berdialog dengan para pemikir-pemikir mutakhir, yang dari hal tersebut membuat sebuah pemikiran baru untuk menentang ide yang mereka usung; seolah mereka saling bertatapan di meja bundar untuk mendiskusikan apa yang mereka pikirkan. Dalam dimensi ide, kita bertarung dengan mereka, dan jasad mereka pun seolah bangkit dari tidurnya lalu ikut duduk bersila di sebelah kita, sambil memperbincangkan masing-masing ide dan sesekali meninggikan nada karena suasana perdebatan semakin memanas. Ide mereka abadi.
Imortalitas ide tanpa sadar menghasilkan ide-ide lain yang juga immortal. Ide tersebut juga, secara langsung atau tidak langsung, pernah dan akan menghasilkan orang-orang yang menggerakkan roda sejarah menuju arah yang tidak terduga sebelumnya. Dari ide-ide Nicollo Machiaevelli dalam karyanya Il Principe lahir manusia-manusia buas dalam sejarah, seperti Napoleon, Hitler, dan Stalin, yang telah meneruskan budaya pertumpahan darah dalam sejarah peradaban manusia. Dari kitab Shahih Bukhari, dengan pemaknaan tentang haditsnya, terlahir karya kesohor Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, dan buku terkenal Fathul Barii karangan Ibnu Hajar Al ‘Aslaqani. Ide ini abadi, seiring terlahirnya ide-ide lain yang membuatnya tetap abadi.
Lalu, sepertinya, tulisan juga mengabadikan karakter personal sang penulis, dan seperti apa perikehidupannya. Dalam sekejap kita bisa merasakan betapa mengerikannya kepribadian Hitler setelah membaca catatannya, Mein kampt. Keshalihan dan kesabaran Ibnu Taimiyah bisa kita lihat ketika membaca karya-karyanya seperti Risalatul Hamawiyah, yang ia tulis dengan menggunakan arang di tembok tempat ia dipenjara. Pembakaran 8000 buku Fi Zhilalil Qur’an di Kairo saat pertama kali di-release tidak membuatnya hilang dalam sejarah, dan tidak menghilangkan semangat tauhid Sayyid Quthb yang ia tanamkan di bukunya. Catatan Seorang Demonstran merepresentasikan idealisme, kejujuran, dan keberanian seorang Soe Hok Gie. Di Bawah Bendera Revolusi merekam sosok pemuda yang cerdas, taktis, dan kharismatik dalam satu sesi kehidupan Soekarno. Capita Selecta menggambarkan intelektualitas yang sama tinggi dengan spiritualitas Muhammad Natsir. Sang Nabi membawakan romantisme Gibran. Intelektual observatif Dan Brown jelas terlihat dalam The Da Vinci Code. Dan kegantengan saya terlihat nyata dalam tulisan ini.

Saya, yang sebagian besar baru membaca sepotong-sepotong lembar buku-buku berharga tersebut, telah bisa melihat karakter penulis-penulisnya dalam sekejap karena dahsyatnya nilai-nilai yang secara spontan terselip di karya-karya mereka. Jiwa mereka abadi, karakter mereka abadi, nilai yang mereka tanamkan abadi.
Verba valent, Scripta Manen bukan sekedar gurauan yang kosong maknanya. Akan tetapi, peribahasa ini memang benar-benar menampilkan fakta sejarah: bahwa karya yang tertulis, ditulis, atau dituliskan (bedakan prefiksnya) mengabadikan tokoh, ide, nilai, dan karakter sang penulis. Bahwa pemikiran dan nilai yang ingin kita sebarluaskan tidak cukup hanya disampaikan secara verbal, namun harus juga dikomunikasikan melalui tulisan. Kita memang tidak perlu berharap apa yang kita tulis abadi dan fenomenal bagi sejarah, tapi setidaknya, kita bisa berjuang untuk sebuah perbaikan dalam tenggat waktu yang maksimal. Karena, dengan niat yang ikhlas, karya-karya yang kita buat bisa saja menginspirasi seseorang ribuan tahun setelah kita menulisnya. Lalu, apalagi yang kita harapkan selain ‘amal jariyah dari kemungkinan-kemungkinan baik yang bisa terangsang dari karya yang baik?

Silahkan menulis.

1 komentar:

okta mengatakan...

saya suka sekali dengan kata
'Verba Valent, Scripta Manen'

kata ini yang membuat saya menjadi menghargai ide2 yang terlintas, kemudian mengikat dg menulisnya...

saya suka tulisannya..
terima kasih ^^

SearchSight.com

"Changing the Way that the World Looks at the Internet!"