Senin, 05 Januari 2009

Keajaiban I'tikaf

Alangkah banyaknya kuhabiskan waktuku pagi dan petang
untuk perbuatan tak berarti
sedang pada saat itu kain kafanku sedang ditenun
tanpa kusadari

Kita sudah relatif jauh berjalan. banyak yang sudah kita lihat dan yang kita raih, tapi banyak juga yang masih kita keluhkan : rintangan yang menghambat, goncangan yang melelahkan fisik dan jiwa, suara gaduh yang memekakan telinga dari mereka yang mengobrol tanpa ilmu, pemandangan indah yang terlewatkan, kerja keras yang tanpa hasil, dan masih banyak lagi.
Jadi mari kita berhenti sejenak disini, Beri'tikaf. kita memerlukan saat-saat itu, saat dimana kita melepaskan kepenatan yang mengurangi ketajaman hati, saat dimana kita membebaskan diri dari rutinitas yang mengurangi kepekaan spiritual, saat dimana kita sejenak melepaskan beban kehidupan yang mungkin menguras stamina kita.
Kita memerlukan saat-saat seperti itu, karena kita perlu membuka kembali peta perjalanan kita, melihat jauhnya jarak yang telah kita tempuh dan sisa perjalanan yang masih harus kita lalui, menengok kembali hasil-hasil yang kita raih.
Sebenarnya bukan hanya kita yang perlu berhenti, para pelaku bisnispun punya kebiasaan itu, memerlukannya untuk menata ulang bisnis mereka, mereka menyebutnya "Penghentian", tapi sahabat-sahabat Rasulullah saw, generasi pertama yang telah mengukir kemenangan dakwah menyebutnya "Majlis Iman" maka Ibnu Mas'ud berkata : "Duduklah bersama kami, biar kita beriman sejenak"
I'tikaf kita perlukan untuk dua keperluan, Pertama untuk memantau keseimbangan antara berbagai perubahan pada lingkungan strategis dengan kondisi internal dakwah serta laju pertumbuhannya. Kedua untuk mengisi ulang hati kita dengan energi baru sekaligus membersihkan debu-debu yang melekat padanya selama menapaki jalan dakwah, yang ingin kita raih adalah memperbaharui komitmen dan janji setia kita kepada Allah, bahwa kita akan tetap istiqomah dan komitmen memikul beban amanat dakwah.
Tradisi i'tikaf ini harus kita lakukan dalam dua tingkatan, individu dan jamaah, pada tingkatan individu dikukuhkan melalui kebiasaan merenungi, menghayati dan menyelami telaga akal kita untuk menemukan gagasan baru yang kreatif, matang dan aktual disamping kebiasaan muhasabah, memperbaharui niat, menguatkan kesadaran dan motivasi serta memelihara kesinambungan semangat jihad.
hasil-hasil inilah yang kita bawa ke majelis Iman untuk kita bagi kepada yang lain, sehingga akal individu melebur menjadi akal kolektif dan kreatifitas individu melebur menjadi kreatifitas kolektif.
Maka Allah berfirman : " Belumlah datang saat bagi orang-orang beriman untuk mengkhusyukan hati dalam mengingat Allah dan dalam menjalankan kebenaran yang diturunkan, dan hendaklah mereka tidak menjadi seperti orang-orang yang telah diberikan Alkitab sebelumnya dimana ketika jarak antara mereka dengan sang Rasul telah jauh, maka hati mereka jadi keras, banyak dari mereka menjadi fasik" (Q.S. Al-Hadid : 16)
Beginilah akhirnya kita memahami mengapa Rasulullah saw mensunahkan umatnya melakukan i'tikaf pada sepuluh terakhir dibulan ramadhan atau mengapa Allah Swt menanamkan kegemaran berkhalwat pada diri Rasulullah saw tiga tahun sebelum diangkat menjadi rasul, atau bahkan mengapa Umar bin Khatab r.a. mempunyai kebiasaan i;tikaf di Masjidil Haram sekali sepekan dimasa jahiliyahnya.
Begini pula akhirnya kita memahami mengapa majlis-majlis kecil para Sahabat Rasullullah saw. dimasjid atau dirumah-rumah berubah menjadi wacana yang melahirkan gagasan-gagasan besar atau tempat merawat kesinambungan iman dan semangat jihad.
Maka ucapan mereka kata Ali bib Abi Thalib adalah dzikir dan diam mereka adalah perenungan.
Tradisi inilah yang hilang diantara kita, sehingga diam kita berubah menjadi imajinasi yang liar, ucapan kita kehilangan arah dan makna.

Disalin dari buku "Keajaiban I'tikaf, menemukan kesejatian diri" oleh M. Anis Matta

Tidak ada komentar:

SearchSight.com

"Changing the Way that the World Looks at the Internet!"